Adab al-Quran Terkait Utang
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Selain mengajarkan panduan agar utang-piutang tidak terjebak dalam transaksi riba, syariat juga mengajarkan beberapa adab umum untuk kepentingan keamanan transaksi utang dan menghindari setiap potensi sengketa di belakang. Berikut beberapa adab yang disebutkan dalam al-Quran terkait utang-piutang,
Pertama, mencatat transaksi utang piutang
Allah ajarkan dalam al-Quran,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (QS. al-Baqarah: 282)
Ayat ini berisi perintah untuk mencatat setiap akad utang-piutang. Bisa hukumnya wajib atau anjuran. Mengingat adanya kebutuhan besar untuk mencatatnya. Karena ketika tidak dicatat, mudah terjadi kesalahan, lupa, sengketa, dan semua dampak buruk lainnya. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 118).
Al-Qurthubi menyebutkan perbedaan pendapat ulama tentang hukum mencatat transaksi utang-piutang.
Pendapat pertama, mencatat transaksi utang-piutang hukumnya wajib
Ini merupakan pendapat at-Thabari dan kesimpulan yang dipahami dari Ibnu Juraij.
Pendapat kedua, mencatat transaksi hukumnya anjuran
Ini pendapat jumhur ulama. dan ini pendapat yang lebih mendekati. Dengan alasan,
=> Bahwa perintah mencatat dalam ayat ini, mansukh (terhapus) dengan firman Allah,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمانَتَهُ
“Jika ada orang memberikan amanah kepada kalian maka orang yang diberi amanah, hendaknya dia tunaikan amanahnya.”
=> Tujuan besar mencatat adalah untuk mengamankan transaksi utang-piutang, mencegah terjadinya sengketa dan keraguan. Dan ini semua kembali kepada pertimbangan kebutuhan. Karena itu, boleh saja tidak mencatatnya karena kebutuhan.
(Tafsir al-Qurthubi, 3/383)
Kedua, menghadirkan saksi
Saksi memiliki peran besar dalam transaksi yang mudah dilupakan pelakunya. Bahkan fungsi catatan utang adalah sebagai saksi dari transaksi. Ketika Allah menjelaskan tentang adab utang, Allah mengajarkan agar menghadirkan saksi. Allah berfirman,
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا
Persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. (QS. al-Baqarah: 282).
Ini semua dalam rangka menguatkan ikatan kepercayaan terkait masalah harta.
Dalam islam, ada beberapa cara untuk menguatkan ikatan kepercayaan terkait harta. Al-Qurthubi menuliskan,
الأموال كثر الله أسباب توثيقها لكثرة جهات تحصيلها وعموم البلوى بها وتكررها، فجعل فيها التوثق تارة بالكتبة وتارة بالإشهاد وتارة بالرهن وتارة بالضمان
Masalah harta, Allah menetapkan banyak penguat ikatan kepercayaan, karena cara untuk mendapatkannya banyak, merata di masyarakat dan kejadiannya berulang. Ada yang penguat ikatan kepercayaan dalam bentuk catatan, ada yang bentuknya saksi, ada yang menggunakan gadai, dan ada yang mengguakan penjaminanan. (Tafsir al-Qurthubi, 3/391).
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menghadirkan saksi dalam utang. Sebagian memahami ini wajib, namun jumhur ulama menyatakan bahwa ini sifatnya anjuran.[1]
Dan yang lebih tepat, keberadaan saksi dalam transaksi utang piutang tidak wajib. Bahkan sebagian ulama menyebutnya bagian dari ijma’, sebagaimana keterangan al-Jashsas. Dalam tafsirnya, beliau menyatakan,
ولا خلاف بين فقهاء الأمصار أن الأمر بالكتابة والإشهاد والرهن المذكور جميعه في هذه الآية ندب وإرشاد لنا إلى ما لنا فيه الحفظ والصلاح والاحتياط للدين والدنيا، وأن شيئاً منه غير واجب
Tidak ada perbedaan di antara para ulama berbagai daerah bahwa perintah untuk mencatat, menghadirkan saksi dan memberikan barang gadai yang semuanya disebutkan dalam ayat ini, hukumnya anjuran, dan panduan bagi kita untuk menjaga, memberikan kebaikan dan kehati-hatian dalam masalah utang dan urusan dunia kita. Dan semua itu tidak wajib. (Ahkam al-Quran, 2/206)
Ketiga, Adanya Barang Gadai
Untuk menjamin keamanan utang, dianjurkan untuk memberikan gadai. Dan kebiasaan masyarakat, nilai barang gadai lebih besar dari pada nilai utang. Tentang keberadaan gadai, Allah memberikan arahan dalam firman-Nya,
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang mengutangi). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (QS. al-Baqarah: 283).
Dengan adanya gadai, tanggungan utang akan lebih ringan. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gadai. “baju besi beliau tergadaikan kepada orang yahudi.” Dan tentu saja, nilai baju besi beliau lebih mahal dibandingkan 30 sha’ gandum.
Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ، بِثَلاَثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara baju besi beliau tergadaikan kepada orang yahudi untuk jaminan 30 sha’ gandum kasar. (HR. Bukhari 2916 & Ahmad 3471)
Dalam riwayat lain, diceritakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
قُبِضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَومَ قُبِضَ وَلَمْ يَدَعْ دِينَارًا وَلَا دِرْهَـمًا وَلَا عَبْدًا وَلَا أَمَةً وَلَقَدْ تَرَكَ دِرْعَه مَرهُونَةً عِنْدَ رَجَلٍ مِنَ اليَهُودِ بِثَلَاثِينَ صَاعًا مِنَ الشَّعِيرِ كَانَ يَأكُلُ مِنْهُ وَيُطْعِمُ مِنهُ عِيَالَهُ
Di hadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau tidak meninggalkan dinar, dirham, budak laki maupun perempuan. Beliau tinggalkan baju besi beliau tergadai di tempat orang yahudi untuk utang 30 sha’ gandum kasar, yang itu untuk kebutuhan makan beliau dan nafkah keluarga beliau. (Tahdzib al-Atsar at-Thabari, 2451).
Transaksi gadai, digolongkan para ulama sebagai akad tautsiqat, yaitu akad yang tujuannya memberikan jaminan kepercayaan kepada pelaku akad.[2] Karena itulah, akad ini bisa berlaku dalam transaksi komersil (muawwadhat) seperti utang piutang maupun transaksi non-komersil (tabarru’at), seperti jual beli, bahkan termasuk dalam akad musyarakah, seperti mudharabah.
Mengingat tujuannya untuk jaminan kepercayaan, akad ini sifatnya tambahan. Bisa ditambahkan di akad apapun. Karena itu, akad ini tidak memberikan konsekuensi terhadap perpindahan kepemilikan barang gadai. Konsekuensi dari hal ini,
[1] barang gadai statusnya amanah bagi murtahin (yang memberi utang)
[2] barang gadai tetap menjadi milik rahin (yang berutang)
[3] jika terjadi kegagalan, misalnya utang bermasalah atau transaksi yang dijamin bermasalah, barang gadai tidak otomatis pindah kepemilikan.
[4] semua biaya perawatan barang gadai, ditanggung oleh rahin (yang berutang), karena ini memang miliknya.
Kita menggaris bawahi, bahwa dalam transaksi gadai, tujuan utamanya hanya untuk jaminan kepercayaan dan keamanan, dan bukan untuk memberi keuntungan bagi pihak yang menerima gadai (murtahin).
Yang terjadi, ketika murtahin memanfaatkan barang gadai, berarti dia memanfaatkan barang milik murtahin, karena transaksi utang antar mereka. Bisa kita pastikan, andaikan tidak ada transaksi utang piutang, murtahin tidak akan memanfaatkan barang milik rahin.
Karena itu, pemanfaatan barang gadai oleh pemberi utang, berarti dia mendapatkan manfaat dari utang yang dia berikan. Sementara mengambil manfaat (keuntungan) dari utang yang diberikan, termasuk riba. Seperti yang dinyatakan dalam kaidah,
كُلُّ قَـرضٍ جَرَّ مَنفَـعَـةً فَهُوَ رِباً
“Setiap utang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.” (HR. Baihaqi)
Tak terkecuali, keuntungan dalam bentuk memanfaatkan barang gadai karena transaksi utang piutang.
Kita simak keterangan Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunah,
عقد الرهن عقد يقصد به الاستيثاق وضمان الدين وليس المقصود منه الاستثمار والربح، وما دام ذلك كذلك فإنه لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة، ولو أذن له الراهن، لانه قرض جر نفعا، وكل قرض جر نفعا فهو ربا
Akad rahn adalah akad yang tujuannya untuk menjamin kepercayaan dan jaminan utang. dan bukan untuk dikembangkan atau diambil keuntungan. Jika seperti itu aturannya, maka tidak halal bagi murtahin untuk memanfaatkan barang yang digadaikan, meskipun diizinkan oleh rahin. Karena berarti utang yang memberikan adanya keuntungan. Dan semua utang yang memberikan keuntungan, statusnya riba. (Fiqh Sunah, 3/156).
[1] Ini berbeda dengan akad jual beli. Sebagian ulama menegaskan bahwa menghadirkan saksi dalam jual beli hukumnya anjuran menurut ijma’ ulama. Allah ta’ala berfirman,
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
Hadirkanlah saksi apabila kalian melakukan jual beli. (QS. al-Baqarah: 282).
Ketika menjelaskan ayat ini, al-Allamah Sulaiman al-Jamal – ulama syafiiyah – mengatakan,
وصرف الأمر في الآية عن الوجوب الإجماع وهو أمر إرشاد لا ثواب فيه إلا لمن قصد به الامتثال
Ulama sepakat, perintah dalam ayat tidak dipahami sebagai perintah wajib, namun dipahami sebagai perintah yang berisi arahan, tidak ada nilai pahalanya kecuali bagi orang yang melakukanya dengan maksud untuk mengamalkan ayat. (Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarhil Minhaj, 10/398).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan akad jual beli tanpa saksi.
[2] Para ulama menyebutkan, akad tautsiqat ada 3: saksi, gadai, dan dhiman (penjaminan), termasuk di dalamnya kafalah (menjadi penanggung). Dan semuanya ada dalam al-Quran. Saksi, Allah sebutkan di al-Baqarah: 282; gadai, Allah sebutkan di al-Baqarah: 283; dhiman dan kafalah, Allah sebutkan di surat Yusuf: 72. Semua Allah ajarkan untuk menjamin kepercayaan setiap mukmin dalam bertransaksi. (as-Syarhul Mumthi’, Ibnu Utsaimin, 9/120).
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/29554-adab-al-quran-terkait-utang.html